kursor baru

X-Steel - Wait

Jumat, 05 Mei 2017

ASWAJA (Ahlu Sunnah Wal Jama'ah) PMII



A.   Latar Belakang Kelahiran ASWAJA dan Pengertiannya.

Ahlussunah Wal Jam’ah bukanlah sebuah madzhab yang dalam masalah aqidah mengikuti imam Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi.Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan dalam bertasawuf mengikuti imam Abu Qasim Al Junandi dan imam Abu Khamid Al-Ghazali.

Jika kita mempelajari Ahlussunah dengan sebenarnya, batasan seperti itu terlihat begitu simple dan sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat eksklusif untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dulu kita perlutekankan bahwah Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) sesunguhnya bukanlah madhab, Aswaja adalah sebuah manhaj Al- fikr (cara berfikir) tertentu yang digaris oleh para sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualtas tinggi dan relative netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya sebagai manhaj Al-fikr meskipun merupakan produk yang bersih dari realitas sosio kultural maupun sosio politik yang melingkupnya.

      Ahlusunnah Waljamaah dalam sejarah merupakan istilah yang menjadi nama bagi golongan kaum muslimin yang memiliki kesamaan dalam beberapa prinsip dan memiliki kesepakatan dalam beberapa pandangan. Istilah Ahlussunah Waljamaah ini bukan istilah yang datang dari nabi SAW. sebagai nama bagi kelompok tertentu.

      Secara kebahasan, Ahlu sunnah Waljamaah adalah istilah yang tersusun dari tiga kata:

     1.    kata Ahlu, yang berarti keluarga, pengikut atau golongan.

2.    kata As-sunnah, secara Etimologis (bahasa) memiliki arti at-thariqoh (jalan dan perilaku) baik jalan dan perilaku benar atau keliru. Sedangkan menurut Treminologi (istilah) para ulama berbeda pendapat tentang pengertian As-sunnah. Lalu apakah pengertan As-sunnah yang menjadi maksud dalam istilah Ahlu sunnah Waljamaah berkaitan dengan perpecahan umat islam menjadi beberapa golongan? Menjawab pertanyaan ini, al-imam ibnu rajab al-hambali mengatakan bahwa Ahlu sunnah Waljamaah adalah golongan yang mengikuti ajaran nabi dan ajaran sahabatnya. Pengertian demikian ini merupaka pengertian yang bukan dalam istilah Ahlu Sunnah Wal jamaah.

3.    kata Al- Jamaah, secara etimologis adalah orang-orang yang memelihra kebersamaan dan kolektifitas dan mencapai tujuan. Sedangkan secara Treminologis, para ulam berbeda pendapat tentang maksud Al jamaah dalam istilah Ahlu sunnah Wal jamaah ada 5 pendapat tentang pengertian jamaah antara lain:
a.    Menurut sahabat Abu Mas’ud jamaah dalam mayoritas kaum muslim.
b.    Jamaah dalam para ulama dan imam yang mencapai tingkat mujtahid.
c.    Menurut sahabat Umar bin Abdul Aziz, jamaah adalah para sahabat Nabi SAW saja bukan generasi sesudah mereka.
d.   Jamaah adalah ijma’ kaum muslimin kepada suatu hukum dan prinsip yang hrus diikuti oleh pengikut oleh agama-agama lain ijma, mereka dijamin oleh Allah tidak akan tersesat sebagai mana dalam hadist nabi SAW.
e.    Menurut al-imam at-thobari, jamaah adalah jamaah kaum muslimin apabila bersepakat dalam memilih seorang pemimpin, maka pemimpin itu harus dibait dan disetujui oleh kaum muslin yang lain, dan barang sapa yang melepaska kepemimpinan maka ia keluar dari jamaah kaum muslimin.

       Ahlus Sunnah Wal jamaah adalah golongan mayoritas umat Muhamaad.Mereka dalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam dasar-dasar kaidah. Mereka yang dimaksud oleh hadist Rosulullah SAW yang artinya:

       "Maka baranag siapa yang menginginkan tempat lapang di surga hendakalah berperang tegu pada jamaah; yakni berpegang teguh pada akidah al-jamaah" ( hadist ini disohihkan oleh al-hakim, dan at-tirmidzi mengatakan hadist hasan shohih).

       Ahlusunnah tidak lepas dari kultur bangsa arab tempat islam berkembang untuk pertama kali. Seperti kita ketahaui bersama, bangsa arab  terdiri beaneka ragam suku dan kabilah yang bisa hidup secara peduli. Dari watak alami dan karakteristik daherah nya yang sebagai besar padang pasir watak orng arab sulit bersatu dan bahkan ada titik kesatuan di antara mereka merupakan sesuatu yang hamper mustahil. Di tengah- tengah kondisi bangsa yang demikian rapuh yang sangat labil persatuan dan kebersamaan ukhuwah, persamaan dan ersaudaraan atas dasar ideology atau iman.

Selama 23 tahun dengan segal kehebatan, charisma, dan kebersamaan sedemikiannya, Rosulullah mampu merendam kefanatikan qobilah menjadi kefanatikan agam (ghiroh islamiyah) jelasnya Rosulullah mampu membangun persatuaan, persaudaraan, ukhuwah dan kesejajaran matrabat dan fitnah manusia. Namun dasar watak alami bangsa arab yang yang sulit bersatu, setelah Rosulullah meninggal dan bahkan jasad beliau belum dikebumikan benih-benih perpecahan, gendrang perselisian sudah mulai terdengar, terutama dalam menyikapi siapa figure yang tepat menganti Rosulullah ( peristiwa bani saqifah).

       Perselisihan internal dikalangan Umat islam, secara system dan periodic terus berlanjut pase meninggal nya Rosulullah, yang akhirnya komonditi perpecah menjadi sangat beragam. Ada karena masalah politik dikemas rapi seakan-akan masalah agama, dan ada juga masalah-masalah agama dijadika legistimasi untuk menapai ambisi politik dan kekuasaan.

       Unsur-unsur perpecahan dikalangan internal umat isalam merupakan potensi yang sewaktu-waktu bisa meledak sebai bom waktu, bukti ini semakin Nampak dengan diangkatnya Ustman Bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar Bin khatab oleh tim formatur yang di bentuk oleh Umar menjelang meninggalnya beliau, yang mau tidak mau menyisahkan kekeceaan politik bagi pendukung Ali waktu itu. Fakta kelabu ini ternyata menjadi tragedy besar dalam sejarah isalam yaitu dengan dibunuh nya kholifah Usman oleh putra Abubakar yang bernama Muhammad bin abu bakar.

       Peristiwa ini yang menjadiakn latar belakang terjadinya peperangan jamal siti Aisyah dan Sayidina Ali.Dan berikut keadaan semakin kacau balau dan situasi politik semakin tidak menentu, sehinga dikalangan internal uamat isalam mulai terpecah menjadi firqoh-firqoh sepert Qodariyah. Jabariyah Mu’tazialah Dan kemudian lahairlah Ahlu sunnah. Melihat rentetan latar belakang sejarah yang mengiringi lahairnya aswaja, dapat ditarik garis kesimpual bahwa lahirnya aswaja tidak terlepas dari latar belakang politik.

B. ASWAJA Sebagai Manhaj Al-Fikr

       Dengan sikap dan dan pemahaman yang didasarakn atas prinsip Ahlusunnah wal jamaah bik dari bidang teologi, fiqih dan tasamuh, serta pengalaman empiric bangsa Indonesia ini,maka aswaja sebagai manhj fikr (metode berfikir) harus bias menjadi alat yang bisa menjawab berbagai macem realitas sebagai upaya mengontekstualakan ajaran islam sehinga benar-benar dapat membawa islam sebagai rahamat Lil Alamin dengan memegang empat prinsip yaitu:

1.    Tawassut, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha mnghindari segala bentuk sikap ta’aruf, aik dalam biang agama mauoun politik, karena sikap tersebut mengarah pada kekerasan dan disintegrasi.

2.    Tasamuh, yaitu siakp toleran yang berintikan penghrgaan terhdap perbedaan pandanagan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Kerena dengan dengan adanya siakp tasamuh itu rasa saling percaya dan solidaritas dapat ditegakan, dan ini merupakan inti hidup bangsa.

3.    Tawazun, yaitu sikap yang selalu berusaha mennciptakan antara hubungan sesama umat muslim dengan Allah, antara akala dan wahyu, serta anatara indifidu dan kolekivitas, dengan sikap tawazun ini harmoni dalam kehidupan baik pikiran maupun tindakan bisa terwujud.

4.    Ta’adul, yaitu sikap dapat mengantarkan pada sikap yang mau dan mampu menghrgai kebenaran yang non ekskstrimitas (tatharruf) kiri atau pun kanan.

Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul fikr artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadaikan metode berfikir untuk mencapai kebenaran agama.Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada didalam Aswaja tapai sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir. Ada banyak relevansinya dalam kehidupan Agama, sehingga PMII lebih terbuka dalam pembukaan ruang dialetika dengan siapapun dan kelompok apapun.

       Dengan prinsip moderat (tawassut) bisa dijadikan senjata atau alat untuk selalau berdialek dan berdialog dengan kondisi zaman apapun, sikap ini sangat releven ketika dihadapakan dengan sekian zaman. PMII tidak secara vis avis menyikapai gelombang tersebut, karena bagai manapun juga peradaban modern merupakan sebuah keniscayaan yang hadir di didunia dengan sekian implikasi yang dilahaitkannya, mak sika meleola dan melarika diri kearah dogmah agama tanpa adanya pemaknaan kritis, bukanlah segalah hal yang bersifat solutiv. Atas sumsi itulah sikap mengambil jalan tenggah, mungkin bisa dijadikan upaya alternative untuk meletakan diri kita secara proposional di tenggah peradaban ini. Karena modermisasi bukanlah merombak secara total dengan menafikan tradisi ulama, tetapi bagai mana tradisi serta tatana masyarakat lama tersebut bisa diaktualaisasikan dengan melakaukan reinterpretasi ajaran sesuai kontek kekinian.

       Aktualisasi prinsip yang pertama adalah bahwah selain wahyu, kita juga meposisikan akal pada posisi yang terhormat. Karena kemartabatan manusia terletak pada pakah dan bagai mana dia menggunakan akal yang dimilikainya artinya, ada sebuah ketrkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga tidak terjebak pada sekripturalisme (tekstual) dan rasionalisme,

       Dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghrgai perbedaan yang ada bahkan pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apa lagi hanya sekedar pendapat kita terhdap orang lain. Yang di perbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialegtikakan keyakinan atau pendapat tersebut dan endingnya diserahka pada otoritas individu dari tuhan inilah manifestasi tassamuh dari aswajasebagai mana manhjul fikr.

       Prinsip selanjutnya adalah ta’wadzun (seimbang) penjabaran prinsip ta’wadzum meliputi berbagai aspek kehidupan baik perilaku indifidu yang bersifat sosial amaupun dalam konteks politik.Ini penting Karen sering kali tindkan yang diambil dalam berintraksi di susupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihkan yang tidak sehrusnya. Walaupun dlam kenyataan nyasanggatlah sulit bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihkan sama sekali, minimal keberpihkan terhadap netralitas. Artinya dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bwaha memandang dan meposisikan segala sesuatu pada proposinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak., dan buka mengambil sikap karena itu adalah sikap pengecut dan opur tunis.

Dan yang terakhir adalah ta’adul ( kadilan) yang merupakan ajaran universal aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan realisasi, harus diselaraskan danegan landasan ini kadilan disini adalah kedilan sosial.Landasan kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan dan sebagainya. 

Rabu, 03 Mei 2017

Sejarah Lahirnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)





         Embrio organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berakar dari kongres ke-3 IPNU pada 27-31 Desember 1958 dengan pembentukan Departemen Perguruan Tinggi IPNU, mengingat banyak mahasiswa yang menjadi anggotanya. Pemikiran ini sebenarnya sudah terlontar pada Kongres ke-2 di Pekalongan, tetapi kondisi IPNU sendiri yang masih perlu pembenahan menyebabkan ide ini belum ditanggapi secara serius. 

        Selanjutnya dalam konferensi besar IPNU 14-16 Maret 1960 di Kaliurang, Yogyakarta, diputuskan terbentuknya suatu wadah mahasiswa NU yang terpisah secara struktural dari IPNU-IPPNU. Sebelumnya secara terpisah sudah terdapat beberapa organisasi lokal yang mewadahi mahasiswa NU seperti IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama) di Jakarta (1955), Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) di Surakarta (1955), Persatuan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (PMNU), dan di banyak tempat lainnya. Upaya ini kurang mendapat dukungan IPNU, yang waktu itu para pengurusnya sebagian besar terdiri dari para mahasiswa, yang akhirnya diakomodasi dengan pembentukan Departemen Perguruan Tinggi.

        Sayangnya, integrasi dalam satu wadah, antara mahasiswa dan pelajar ini kurang berhasil mengingat kebutuhan antara pelajar dan mahasiswa berbeda dan gerak dari Departemen Perguruan Tinggi IPNU terbatas mengingat ia tidak diakui dalam Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), suatu konferderasi organisasi mahasiswa. Faktor eksternal adalah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia), yang tokohnya dekat dengan Masyumi, dan banyak tokoh di dalamnya terlibat dalam PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Inilah faktor yang menyebabkan dibentuknya organisasi tersendiri. 

       Kebutuhan NU akan pengembangan mahasiswa juga dinilai mendesak karena NU sebagai partai politik waktu itu membutuhkan kader dengan kapasitas intelektual yang tinggi untuk memegang jabatan strategis, yang sejauh ini lebih banyak diberikan kepada orang luar yang kemudian baru di-NU-kan.

       Pendirian PMII dimaksudkan sebagai alat untuk memperkuat partai NU, sebagian besar programnya berorientasi politik. Hal ini dilatarbelakangi pertama, anggapan bahwa PMII dilahirkan untuk pertama kali sebagai kader muda partai NU sehingga gerakan dan aktivitas selalu diorientasikan untuk menunjang gerak dan langkah partai NU.

        Kedua, suasana kehidupan barbangsa dan bernegara waktu itu sangat kondusif untuk gerakan politik sehingga politik sebagai panglima betul-betul menjadi kebijakan pemerintah Orde Lama. Dan PMII sebagai bagian dari komponen bangsa mau tidak mau harus berperan aktif dalam konstelasi politik seperti itu. 

       Dari keputusan Konbes Kaliurang ini akhirnya dibentuk 13 sponsor pendiri organisasi mahasiswa yang terdiri dari:
1.    Cholid Mawardi (Jakarta)
2.    Said Budairy (Jakarta)
3.    M Sobich Ubaid (Jakarta)
4.    M Makmun Syukri BA (Bandung)
5.    Hilman (Bandung)
6.    H Ismail Makky (Yogyakarta)
7.    Munsif Nahrawi (Yogyakarta)
8.    Nuril Huda Suady  HA (Surakarta)
9.    Laily Mansur (Surakarta)
10.  Abd Wahad Jailani (Semarang)
11.  Hisbullah Huda (Surabaya)
12.  M Cholid Narbuko (Malang)
13.  Ahmad Husain (Makassar)

       Selanjutnya, dilakukan musyawarah di Surabaya 14-16 April 1960 yang memutuskan pemberian nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan penyusunan Peraturan Dasar PMII, yang dinyatakan mulai berlaku pada 17 April. Tanggal inilah yang digunakan sebagai peringatan hari lahir PMII.

       Nama PMII adalah usulan dari delegasi Bandung dan Surabaya, serta mendapat dukungan dari Surakarta. Delegasi Yogyakarta mengusulkan nama Perhimpunan Persatuan Mahasiswa Ahlusunnah wal Jamaah dan Perhimpunan Mahasiswa Sunny, sedangkan utusan Jakarta mengusulkan (IMANU) Ikatan Mahasiswa NU.

       Tak sampai setahun, organisasi mahasiswa ini melakukan kongres pertamanya di Tawangmangu Surakarta dengan 13 cabang. Selanjutnya, pada kongres kedua tahun 1963, sudah mencapai 31 cabang, 18 cabang merupakan cabang baru. PMII secara tegas berkeinginan untuk menjaga dan memelihara ajaran Islam Ahlusunnah wal Jamaah. Ini mengingat aspirasi mahasiwa NU kurang terakomodasi dalam organisasi mahasiwa Islam yang sudah ada sebelumnya.

       Berikut adalah Nama Ketua Umum PB PMII dari masa ke masa:
1960-1961        Mahbub Junaidi
1961-1963        Mahbub Junaidi
1963-1967        Mahbub Junaidi
1967-1970        M Zamroni
1970 -1973        M Zamroni
1973-1976        Abduh Paddare
1977-1981        Ahmad Bagdja
1981-1984        Muhyiddin Arubusman
1985-1988        Suryadharma Ali
1988-1991        M Iqbal Assegaf
1991-1994        Ali Masykur Musa
1994-1997        Muhaimin Iskandar
1997-2000        Syaiful Hari Anshori
2000-2002        Nusron Wahid
2003-2005        Malik Haramain
2005-2007        Hery Herianto Azumi 
2008-2011        Rodli Kaelani
2011-2013        Adin Jauharuddin
2014-2016        Aminuddin Ma'ruf

(Ensiklopedia NU)