kursor baru

X-Steel - Wait

Jumat, 05 Mei 2017

ASWAJA (Ahlu Sunnah Wal Jama'ah) PMII



A.   Latar Belakang Kelahiran ASWAJA dan Pengertiannya.

Ahlussunah Wal Jam’ah bukanlah sebuah madzhab yang dalam masalah aqidah mengikuti imam Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi.Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan dalam bertasawuf mengikuti imam Abu Qasim Al Junandi dan imam Abu Khamid Al-Ghazali.

Jika kita mempelajari Ahlussunah dengan sebenarnya, batasan seperti itu terlihat begitu simple dan sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat eksklusif untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dulu kita perlutekankan bahwah Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) sesunguhnya bukanlah madhab, Aswaja adalah sebuah manhaj Al- fikr (cara berfikir) tertentu yang digaris oleh para sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualtas tinggi dan relative netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya sebagai manhaj Al-fikr meskipun merupakan produk yang bersih dari realitas sosio kultural maupun sosio politik yang melingkupnya.

      Ahlusunnah Waljamaah dalam sejarah merupakan istilah yang menjadi nama bagi golongan kaum muslimin yang memiliki kesamaan dalam beberapa prinsip dan memiliki kesepakatan dalam beberapa pandangan. Istilah Ahlussunah Waljamaah ini bukan istilah yang datang dari nabi SAW. sebagai nama bagi kelompok tertentu.

      Secara kebahasan, Ahlu sunnah Waljamaah adalah istilah yang tersusun dari tiga kata:

     1.    kata Ahlu, yang berarti keluarga, pengikut atau golongan.

2.    kata As-sunnah, secara Etimologis (bahasa) memiliki arti at-thariqoh (jalan dan perilaku) baik jalan dan perilaku benar atau keliru. Sedangkan menurut Treminologi (istilah) para ulama berbeda pendapat tentang pengertian As-sunnah. Lalu apakah pengertan As-sunnah yang menjadi maksud dalam istilah Ahlu sunnah Waljamaah berkaitan dengan perpecahan umat islam menjadi beberapa golongan? Menjawab pertanyaan ini, al-imam ibnu rajab al-hambali mengatakan bahwa Ahlu sunnah Waljamaah adalah golongan yang mengikuti ajaran nabi dan ajaran sahabatnya. Pengertian demikian ini merupaka pengertian yang bukan dalam istilah Ahlu Sunnah Wal jamaah.

3.    kata Al- Jamaah, secara etimologis adalah orang-orang yang memelihra kebersamaan dan kolektifitas dan mencapai tujuan. Sedangkan secara Treminologis, para ulam berbeda pendapat tentang maksud Al jamaah dalam istilah Ahlu sunnah Wal jamaah ada 5 pendapat tentang pengertian jamaah antara lain:
a.    Menurut sahabat Abu Mas’ud jamaah dalam mayoritas kaum muslim.
b.    Jamaah dalam para ulama dan imam yang mencapai tingkat mujtahid.
c.    Menurut sahabat Umar bin Abdul Aziz, jamaah adalah para sahabat Nabi SAW saja bukan generasi sesudah mereka.
d.   Jamaah adalah ijma’ kaum muslimin kepada suatu hukum dan prinsip yang hrus diikuti oleh pengikut oleh agama-agama lain ijma, mereka dijamin oleh Allah tidak akan tersesat sebagai mana dalam hadist nabi SAW.
e.    Menurut al-imam at-thobari, jamaah adalah jamaah kaum muslimin apabila bersepakat dalam memilih seorang pemimpin, maka pemimpin itu harus dibait dan disetujui oleh kaum muslin yang lain, dan barang sapa yang melepaska kepemimpinan maka ia keluar dari jamaah kaum muslimin.

       Ahlus Sunnah Wal jamaah adalah golongan mayoritas umat Muhamaad.Mereka dalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam dasar-dasar kaidah. Mereka yang dimaksud oleh hadist Rosulullah SAW yang artinya:

       "Maka baranag siapa yang menginginkan tempat lapang di surga hendakalah berperang tegu pada jamaah; yakni berpegang teguh pada akidah al-jamaah" ( hadist ini disohihkan oleh al-hakim, dan at-tirmidzi mengatakan hadist hasan shohih).

       Ahlusunnah tidak lepas dari kultur bangsa arab tempat islam berkembang untuk pertama kali. Seperti kita ketahaui bersama, bangsa arab  terdiri beaneka ragam suku dan kabilah yang bisa hidup secara peduli. Dari watak alami dan karakteristik daherah nya yang sebagai besar padang pasir watak orng arab sulit bersatu dan bahkan ada titik kesatuan di antara mereka merupakan sesuatu yang hamper mustahil. Di tengah- tengah kondisi bangsa yang demikian rapuh yang sangat labil persatuan dan kebersamaan ukhuwah, persamaan dan ersaudaraan atas dasar ideology atau iman.

Selama 23 tahun dengan segal kehebatan, charisma, dan kebersamaan sedemikiannya, Rosulullah mampu merendam kefanatikan qobilah menjadi kefanatikan agam (ghiroh islamiyah) jelasnya Rosulullah mampu membangun persatuaan, persaudaraan, ukhuwah dan kesejajaran matrabat dan fitnah manusia. Namun dasar watak alami bangsa arab yang yang sulit bersatu, setelah Rosulullah meninggal dan bahkan jasad beliau belum dikebumikan benih-benih perpecahan, gendrang perselisian sudah mulai terdengar, terutama dalam menyikapi siapa figure yang tepat menganti Rosulullah ( peristiwa bani saqifah).

       Perselisihan internal dikalangan Umat islam, secara system dan periodic terus berlanjut pase meninggal nya Rosulullah, yang akhirnya komonditi perpecah menjadi sangat beragam. Ada karena masalah politik dikemas rapi seakan-akan masalah agama, dan ada juga masalah-masalah agama dijadika legistimasi untuk menapai ambisi politik dan kekuasaan.

       Unsur-unsur perpecahan dikalangan internal umat isalam merupakan potensi yang sewaktu-waktu bisa meledak sebai bom waktu, bukti ini semakin Nampak dengan diangkatnya Ustman Bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar Bin khatab oleh tim formatur yang di bentuk oleh Umar menjelang meninggalnya beliau, yang mau tidak mau menyisahkan kekeceaan politik bagi pendukung Ali waktu itu. Fakta kelabu ini ternyata menjadi tragedy besar dalam sejarah isalam yaitu dengan dibunuh nya kholifah Usman oleh putra Abubakar yang bernama Muhammad bin abu bakar.

       Peristiwa ini yang menjadiakn latar belakang terjadinya peperangan jamal siti Aisyah dan Sayidina Ali.Dan berikut keadaan semakin kacau balau dan situasi politik semakin tidak menentu, sehinga dikalangan internal uamat isalam mulai terpecah menjadi firqoh-firqoh sepert Qodariyah. Jabariyah Mu’tazialah Dan kemudian lahairlah Ahlu sunnah. Melihat rentetan latar belakang sejarah yang mengiringi lahairnya aswaja, dapat ditarik garis kesimpual bahwa lahirnya aswaja tidak terlepas dari latar belakang politik.

B. ASWAJA Sebagai Manhaj Al-Fikr

       Dengan sikap dan dan pemahaman yang didasarakn atas prinsip Ahlusunnah wal jamaah bik dari bidang teologi, fiqih dan tasamuh, serta pengalaman empiric bangsa Indonesia ini,maka aswaja sebagai manhj fikr (metode berfikir) harus bias menjadi alat yang bisa menjawab berbagai macem realitas sebagai upaya mengontekstualakan ajaran islam sehinga benar-benar dapat membawa islam sebagai rahamat Lil Alamin dengan memegang empat prinsip yaitu:

1.    Tawassut, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha mnghindari segala bentuk sikap ta’aruf, aik dalam biang agama mauoun politik, karena sikap tersebut mengarah pada kekerasan dan disintegrasi.

2.    Tasamuh, yaitu siakp toleran yang berintikan penghrgaan terhdap perbedaan pandanagan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Kerena dengan dengan adanya siakp tasamuh itu rasa saling percaya dan solidaritas dapat ditegakan, dan ini merupakan inti hidup bangsa.

3.    Tawazun, yaitu sikap yang selalu berusaha mennciptakan antara hubungan sesama umat muslim dengan Allah, antara akala dan wahyu, serta anatara indifidu dan kolekivitas, dengan sikap tawazun ini harmoni dalam kehidupan baik pikiran maupun tindakan bisa terwujud.

4.    Ta’adul, yaitu sikap dapat mengantarkan pada sikap yang mau dan mampu menghrgai kebenaran yang non ekskstrimitas (tatharruf) kiri atau pun kanan.

Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul fikr artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadaikan metode berfikir untuk mencapai kebenaran agama.Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada didalam Aswaja tapai sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir. Ada banyak relevansinya dalam kehidupan Agama, sehingga PMII lebih terbuka dalam pembukaan ruang dialetika dengan siapapun dan kelompok apapun.

       Dengan prinsip moderat (tawassut) bisa dijadikan senjata atau alat untuk selalau berdialek dan berdialog dengan kondisi zaman apapun, sikap ini sangat releven ketika dihadapakan dengan sekian zaman. PMII tidak secara vis avis menyikapai gelombang tersebut, karena bagai manapun juga peradaban modern merupakan sebuah keniscayaan yang hadir di didunia dengan sekian implikasi yang dilahaitkannya, mak sika meleola dan melarika diri kearah dogmah agama tanpa adanya pemaknaan kritis, bukanlah segalah hal yang bersifat solutiv. Atas sumsi itulah sikap mengambil jalan tenggah, mungkin bisa dijadikan upaya alternative untuk meletakan diri kita secara proposional di tenggah peradaban ini. Karena modermisasi bukanlah merombak secara total dengan menafikan tradisi ulama, tetapi bagai mana tradisi serta tatana masyarakat lama tersebut bisa diaktualaisasikan dengan melakaukan reinterpretasi ajaran sesuai kontek kekinian.

       Aktualisasi prinsip yang pertama adalah bahwah selain wahyu, kita juga meposisikan akal pada posisi yang terhormat. Karena kemartabatan manusia terletak pada pakah dan bagai mana dia menggunakan akal yang dimilikainya artinya, ada sebuah ketrkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga tidak terjebak pada sekripturalisme (tekstual) dan rasionalisme,

       Dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghrgai perbedaan yang ada bahkan pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apa lagi hanya sekedar pendapat kita terhdap orang lain. Yang di perbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialegtikakan keyakinan atau pendapat tersebut dan endingnya diserahka pada otoritas individu dari tuhan inilah manifestasi tassamuh dari aswajasebagai mana manhjul fikr.

       Prinsip selanjutnya adalah ta’wadzun (seimbang) penjabaran prinsip ta’wadzum meliputi berbagai aspek kehidupan baik perilaku indifidu yang bersifat sosial amaupun dalam konteks politik.Ini penting Karen sering kali tindkan yang diambil dalam berintraksi di susupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihkan yang tidak sehrusnya. Walaupun dlam kenyataan nyasanggatlah sulit bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihkan sama sekali, minimal keberpihkan terhadap netralitas. Artinya dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bwaha memandang dan meposisikan segala sesuatu pada proposinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak., dan buka mengambil sikap karena itu adalah sikap pengecut dan opur tunis.

Dan yang terakhir adalah ta’adul ( kadilan) yang merupakan ajaran universal aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan realisasi, harus diselaraskan danegan landasan ini kadilan disini adalah kedilan sosial.Landasan kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan dan sebagainya. 

Rabu, 03 Mei 2017

Sejarah Lahirnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)





         Embrio organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berakar dari kongres ke-3 IPNU pada 27-31 Desember 1958 dengan pembentukan Departemen Perguruan Tinggi IPNU, mengingat banyak mahasiswa yang menjadi anggotanya. Pemikiran ini sebenarnya sudah terlontar pada Kongres ke-2 di Pekalongan, tetapi kondisi IPNU sendiri yang masih perlu pembenahan menyebabkan ide ini belum ditanggapi secara serius. 

        Selanjutnya dalam konferensi besar IPNU 14-16 Maret 1960 di Kaliurang, Yogyakarta, diputuskan terbentuknya suatu wadah mahasiswa NU yang terpisah secara struktural dari IPNU-IPPNU. Sebelumnya secara terpisah sudah terdapat beberapa organisasi lokal yang mewadahi mahasiswa NU seperti IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama) di Jakarta (1955), Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) di Surakarta (1955), Persatuan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (PMNU), dan di banyak tempat lainnya. Upaya ini kurang mendapat dukungan IPNU, yang waktu itu para pengurusnya sebagian besar terdiri dari para mahasiswa, yang akhirnya diakomodasi dengan pembentukan Departemen Perguruan Tinggi.

        Sayangnya, integrasi dalam satu wadah, antara mahasiswa dan pelajar ini kurang berhasil mengingat kebutuhan antara pelajar dan mahasiswa berbeda dan gerak dari Departemen Perguruan Tinggi IPNU terbatas mengingat ia tidak diakui dalam Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), suatu konferderasi organisasi mahasiswa. Faktor eksternal adalah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia), yang tokohnya dekat dengan Masyumi, dan banyak tokoh di dalamnya terlibat dalam PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Inilah faktor yang menyebabkan dibentuknya organisasi tersendiri. 

       Kebutuhan NU akan pengembangan mahasiswa juga dinilai mendesak karena NU sebagai partai politik waktu itu membutuhkan kader dengan kapasitas intelektual yang tinggi untuk memegang jabatan strategis, yang sejauh ini lebih banyak diberikan kepada orang luar yang kemudian baru di-NU-kan.

       Pendirian PMII dimaksudkan sebagai alat untuk memperkuat partai NU, sebagian besar programnya berorientasi politik. Hal ini dilatarbelakangi pertama, anggapan bahwa PMII dilahirkan untuk pertama kali sebagai kader muda partai NU sehingga gerakan dan aktivitas selalu diorientasikan untuk menunjang gerak dan langkah partai NU.

        Kedua, suasana kehidupan barbangsa dan bernegara waktu itu sangat kondusif untuk gerakan politik sehingga politik sebagai panglima betul-betul menjadi kebijakan pemerintah Orde Lama. Dan PMII sebagai bagian dari komponen bangsa mau tidak mau harus berperan aktif dalam konstelasi politik seperti itu. 

       Dari keputusan Konbes Kaliurang ini akhirnya dibentuk 13 sponsor pendiri organisasi mahasiswa yang terdiri dari:
1.    Cholid Mawardi (Jakarta)
2.    Said Budairy (Jakarta)
3.    M Sobich Ubaid (Jakarta)
4.    M Makmun Syukri BA (Bandung)
5.    Hilman (Bandung)
6.    H Ismail Makky (Yogyakarta)
7.    Munsif Nahrawi (Yogyakarta)
8.    Nuril Huda Suady  HA (Surakarta)
9.    Laily Mansur (Surakarta)
10.  Abd Wahad Jailani (Semarang)
11.  Hisbullah Huda (Surabaya)
12.  M Cholid Narbuko (Malang)
13.  Ahmad Husain (Makassar)

       Selanjutnya, dilakukan musyawarah di Surabaya 14-16 April 1960 yang memutuskan pemberian nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan penyusunan Peraturan Dasar PMII, yang dinyatakan mulai berlaku pada 17 April. Tanggal inilah yang digunakan sebagai peringatan hari lahir PMII.

       Nama PMII adalah usulan dari delegasi Bandung dan Surabaya, serta mendapat dukungan dari Surakarta. Delegasi Yogyakarta mengusulkan nama Perhimpunan Persatuan Mahasiswa Ahlusunnah wal Jamaah dan Perhimpunan Mahasiswa Sunny, sedangkan utusan Jakarta mengusulkan (IMANU) Ikatan Mahasiswa NU.

       Tak sampai setahun, organisasi mahasiswa ini melakukan kongres pertamanya di Tawangmangu Surakarta dengan 13 cabang. Selanjutnya, pada kongres kedua tahun 1963, sudah mencapai 31 cabang, 18 cabang merupakan cabang baru. PMII secara tegas berkeinginan untuk menjaga dan memelihara ajaran Islam Ahlusunnah wal Jamaah. Ini mengingat aspirasi mahasiwa NU kurang terakomodasi dalam organisasi mahasiwa Islam yang sudah ada sebelumnya.

       Berikut adalah Nama Ketua Umum PB PMII dari masa ke masa:
1960-1961        Mahbub Junaidi
1961-1963        Mahbub Junaidi
1963-1967        Mahbub Junaidi
1967-1970        M Zamroni
1970 -1973        M Zamroni
1973-1976        Abduh Paddare
1977-1981        Ahmad Bagdja
1981-1984        Muhyiddin Arubusman
1985-1988        Suryadharma Ali
1988-1991        M Iqbal Assegaf
1991-1994        Ali Masykur Musa
1994-1997        Muhaimin Iskandar
1997-2000        Syaiful Hari Anshori
2000-2002        Nusron Wahid
2003-2005        Malik Haramain
2005-2007        Hery Herianto Azumi 
2008-2011        Rodli Kaelani
2011-2013        Adin Jauharuddin
2014-2016        Aminuddin Ma'ruf

(Ensiklopedia NU)

Kamis, 16 Juni 2016

Fiqh Muamalah mengenai MAGHRIB (Maysir, Gharar dan Riba)

MAYSIR,GHARAR DAN RIBA




Disusun oleh :
Akbar alfatah



Dosen Pembimbing : Khairiah Elwardah M.Ag.





PRODI  PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMO DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat dan hidayahlah, sehingga penulis dapat menyusun makalah ini, meski penulis sadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi bahasa, penulis dan penyusunannya.
Adapun dalam penyusunan makalah ini penulis memperoleh data / sumber dari media online ‘ internet ’ dan menjelaskan tentang “ MAGHRIB (Maysir, Gharah, Riba) ”.
Penulis berharap apa yang tercantum dalam makalah ini, bisa menjadi pelajaran dan menambah wawasan buat pembaca dan terutama buat diri penulis sendiri.
 karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.


Bengkulu, 30 maret 2016

                                                                                                                                  Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Fiqh Muamalat hukumnya, semua aktifitas itu pada awalnya adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya, inilah kaidah ushul fiqhnya. Fiqh Muamalat pada awalnya mencakup semua aspek permasalahan yang melibatkan interaksi manusia, seperti pendapat Wahbah Zuhaili, hukum muamalah itu terdiri dari hukum keluarga, hukum kebendaan, hukum acara, perundang-undangan, hukum internasional, hukum ekonomi dan keuangan. Tapi, sekarang Fiqh Muamalat dikenal secara khusus atau lebih sempit mengerucut hanya pada hukum yang terkait dengan harta benda.
Begitu pentingnya mengetahui Fiqh ini karena setiap muslim tidak pernah terlepas dari kegiatan kebendandaan yang terkait dengan pemenuhan kebutuhannya. Maka dikenallah objek yang dikaji dalam fiqh muamalat, walau para fuqaha (ahli fiqih) klasik maupun kontemporer berbeda-beda, namun secara umum fiqh muamalah membahas hal berikut : teori hak-kewajiban, konsep harta, konsep kepemilikan, teori akad, bentuk-bentuk akad yang terdiri dari jual-beli, sewa-menyewa, sayembara, akad kerjasama perdagangan, kerjasama bidang pertanian, pemberian, titipan, pinjam-meminjam, perwakilan, hutang-piutang, garansi, pengalihan hutang-piutang, jaminan, perdamaian, akad-akad yang terkait dengan kepemilikan: menggarap tanah tak bertuan, ghasab (meminjam barang tanpa izin), merusak, barang temuan, dan syuf’ah (memindahkan hak kepada rekan sekongsi dengan mendapat ganti yang jelas).
Setelah mengenal secara umum apa saja yang dibahas dalam fiqh muamalat, ada prinsip dasar yang harus dipahami dalam berinteraksi. Ada 5 hal yang perlu diingat sebagai landasan tiap kali seorang muslim akan berinteraksi. Kelima hal ini menjadi batasan secara umum bahwa transaksi yang dilakukan sah atau tidak, yaitu Maysir, Gharar, Riba.


B.       Rumusan masalah
1.    Apa yang dimaksud Maisyir ?
2.    Apa pengertian Gharar ?
3.    Apa yang dimaksud Riba ?
C.       Tujuan masalah
1.    Untuk mengetahui pengertian Maisyir
2.    Untuk Mengetahu pengertian Gharar
3.    Agar mengetahui pengertian Riba




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Maysir
1.    Pengertian Maysir
Kata Maysir dalam bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang biasa juga disebut berjudi. Istilah lain yang digunakan dalam al-Quran adalah kata `azlam` yang berarti perjudian.
Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk pemilikan suatu benda atau jasa yang mengguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu”.
Agar bisa dikategorikan judi maka harus ada 3 unsur untuk dipenuhi:
a.    Adanya taruhan harta/materi yang berasal dari kedua pihak yang berjudi
b.    Adanya suatu permainan yang digunakan untuk menentukan pemenang dan yang kalah
c.    Pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya) yang menjadi taruhan, sedangkan pihak yang kalah kehilangan hartanya
Prinsip berjudi adalah terlarang, baik itu terlibat secara mendalam mahupun hanya berperan sedikit saja atau tidak berperan sama sekali, mengharapkan keuntungan semata (misalnya hanya mencuba-cuba) di samping sebagian orang-orang yang terlibat melakukan kecurangan, kita mendapatkan apa yang semestinya kita tidak dapatkan, atau menghilangkan suatu kesempatan. Melakukan pemotongan dan bertaruh benar-benar masuk dalam kategori definisi berjudi.[1]

2.    Hukum Al-Maysir
Al-Quran secara terang-terangnya mengutuk perlakuan tersebut. Oleh yang demikian, niat tidak menghalalkan cara yang mana berjudi untuk membantu orang yang memerlukan adalah tidak membawa kepada alasan yang kukuh untuk menerima ganjaran daripada perjudian (maisir). Perbedaan antara perjudian dan gharar di dalam transaksi ialah telah mengurangkan, dan oleh itu ahli ekonomi telah menyedari akan struktur pada kedua-duanya. Menurut pendapat Ahli Ekonomi Goodman (1995): Pertambahan peningkatan bagi bisnes perjudian di dalam beberapa tahun dilihat melebarkan banyak masalah di dalam Ekonomi Amerika terutamanya kecenderungan perkembangan mengendalikan nasib ekonomi yang dilihat bertentangan dengan asas kemahiran dan kerja sebenar.
(Perjudian)Al-maysir terlarang dalam syariat Islam, dengan dasar al-Quran, as-Sunnah, dan ijma’.Dalam al-Quran, terdapat firman Allah subhanahu wa Ta’ala “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Ma’idah: 90)
Dari as-Sunnah, terdapat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shahih al-Bukhari, “Barangsiapa yang menyatakan kepada saudaranya, ‘Mari, aku bertaruh denganmu.’ maka hendaklah dia bersedekah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ajakan bertaruh–baik dalam pertaruhan atau muamalah sebagai sebab membayar kafarat dengan sedekah, Ini menunjukkan keharaman pertaruhan. Demikian juga, sudah ada ijma’ tentang keharamannya.Sedangkan dalam terminologi ulama, ada beberapa ungkapan semua muamalah yang dilakukan manusia dalam keadaan tidak jelas akan beruntung atau merugi sekali (spekulatif).
Contoh Maysirnya ketika sejumlah orang masing-masing membeli kupon Togel dengan “harga” tertentu dengan menembak empat angka. (Ini sebenarnya tindakan mengumpulkan wang taruhan). Lalu diadakan undian –dengan cara tertentu– untuk menentukan empat angka yang akan keluar. Maka, ini adalah undian yang haram, sebab undian ini telah menjadi bagian aktivitas judi. Di dalamnya ada unsur taruhan dan ada pihak yang menang dan yang kalah di mana yang menang mengambil materi yang berasal dari pihak yang kalah. Ini tak diragukan lagi adalah karakter-karakter judi yang najis.

B.       Gharar
1.    Pengertian Gharar
Gharar menurut bahasa adalah khida’ ; penipuan. Dari segi terminologi : penipuan dan tidak mengetahui sesuatu yang diakadkan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Sedangkan definisi menurut beberapa ulama :
a.    Imam Syafi’i adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti (tidak dikehendaki, pen.)
b.    Wahbah al-Zuhaili; penampilan yang menimbulkan kerusakan atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakikatnya menimbulkan kebencian.
c.    Ibnu Qayyim; yang tidak bisa diukur penerimaannya, baik barang itu ada maupun tidak ada, seperti menjual hamba yang melarikan diri dan unta yang liar.
Menurut Islam, gharar ini merusak akad. Demikian Islam menjaga kepentingan manusia dalam aspek ini. Imam an-Nawawi menyatakan bahwa larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai peranan yang begitu hebat dalam menjamin keadilan.[2]
Gharar adalah suatu kegiatan bisnis yang tidak jelas kuantitas, kualitas, harga dan waktu terjadinya transaksi tidak jelas. Aktivitas bisnis yang mengandung gharar adalah bisnis yang mengandung risiko tinggi, atau transaksi yang dilakukan dalam bisnis tak pasti atau kepastian usaha ini sangat kecil dan risikonya cukup besar.

2.    Hukum Gharar
Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi. “Artinya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar.”
Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam firmanNya. “Artinya: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 188)
“Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. An-Nisaa: 29)
Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini adalah larangan Allah dalam Al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan batil. Begitu pula dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau melarang jual beli gharar ini.
Pelarangan ini juga dikuatkan dengan pengharaman judi, sebagaimana ada dalam firman Allah. “Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Maidah: 90)
Sedangkan jual-beli gharar, menurut keterangan Syaikh As-Sa’di, termasuk dalam katagori perjudian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan, semua jual beli gharar, seperti menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak buahnya, dan jual beli al-hashaah, seluruhnya termasuk perjudian yang diharamkan Allah di dalam Al-Qur’an.

3.    Pentingnya mengenal kaedah Gharar
Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar sangatlah penting, karena banyak permasalahan jual-beli yang bersumber dari ketidak jelasan dan adanya unsur taruhan di dalamnya. Imam Nawawi mengatakan: “Larangan jual beli gharar merupakan asas penting dari kitab jual-beli. Oleh karena itu Imam Muslim menempatkannya di depan. Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat banyak, tidak terhitung.”

4.    Jenis Gharar
Dilihat dari peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga sisi.
a.    Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual beli habal al habalah (janin dari hewan ternak).
b.    Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti pernyataan seseorang: “Saya menjual barang dengan harga seribu ringgit,” tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang: “Aku jual keretaku ini kepadamu dengan harga sepuluh juta,” namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang: “Aku jual tanah kepadamu seharga lima puluh ribu”, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.
c.    Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak yang kabur, atau jual beli kereta yang dicuri. Ketidak jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan pada akad jual belinya.
Ketidakjelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti segenggam Dinar. Sedangkan ketidak jelasan pada barang, yaitu sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun ketidak-jelasan pada akad, seperti menjual dengan harga 10 Dinar bila kontan dan 20 Dinar bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya.
Syaikh As-Sa’di menyatakan: “Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada jual-beli ma’dum(belum ada wujudnya), seperti habal al habalah dan as-sinin, atau kepada jual-beli yang tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau kepada ketidak-jelasan, baik mutlak pada barangnya, jenisnya atau sifatnya.”

C.       RIBA
1.    Pengertian Riba
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (- tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Secara juristikal, riba mengandung dua pengertian:
a.     Tambahan uang yang diberikan ataupun diambil dimana pertukaran uang tersebut dengan uang yang sama, misal dollar for dollar excange.
b.     Tambahan nilai uang pada satu sisi yang sedang malkukan kontrak tatkla komoditas yang diperdagangkan secara barter itu pada jenis yang sama.
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Mengenai hal ini Allah mengingatkan dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil.” (Q.S. An Nisa: 29)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al Baqarah: 278-279).

2.    Hukum Riba
Larangan riba yang terdapat dalam Al Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap:
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah .
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (Q.S. Ar Rum: 39).
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
“Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S. An Nisa: 160-161)
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran: 130).
Tahap terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al Baqarah: 278-279).

3.    Dampak negatif Riba
a.    Dampak Ekonomi
Diantara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang.
Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah hutang negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada akhirnya negara-negara peng-hutang harus berhutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Sehingga, terjadilah hutang yang terus-menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat dunia.
b.    Sosial Kemasyarakatan

Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintah-kan orang lain agar berusaha dan mengembalikan misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjam-kannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima percent? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Dan siapa pun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan, berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, berarti orang sudah memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.